Sabtu, 17 April 2010

UNDANG-UNDANG ITE

Naskah RUU ITE diterima secara aklamasi oleh seluruh fraksi DPR RI lewat Rapat Paripurna, Selasa, 25 Maret 2008, Jakarta. Setelah menanti sekitar lima tahun, Indonesia akan segera memiliki payung hukum di bidang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

RUU ITE usulan Pemerintah semula terdiri 13 Bab dan 49 Pasal serta Penjelasan. Setelah melalui pembahasan pada tahap Pansus, Panja, Timus, Timsin, rumusan RUU ITE menjadi 13 Bab dan 54 Pasal serta Penjelasan. Dengan demikian terdapat penambahan sebanyak 5 (lima) Pasal.

RUU ITE mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dengan nama Rancangan Undang Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IETE). Semula RUU ini dinamakan Rancangan Undang Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik (RUU IKTE) yang disusun oleh Ditjen Pos dan Telekomunikasi - Departemen Perhubungan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan, bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Tim Asistensi dari ITB, serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI).

Setelah Departemen Komunikasi dan Informatika terbentuk berdasarkan Peraturan Presiden RI No 9 Tahun 2005, tindak lanjut RUU ITE kembali digulirkan. Pada tanggal 5 September, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat No. R./70/Pres/9/2005 menyampaikan naskah RUU ITE secara resmi kepada DPR RI. Merespon surat Presiden tersebut, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10 (sepuluh) Fraksi di DPR RI.

Bersamaan dengan itu, Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika membentuk “Tim Antar Departemen Dalam rangka Pembahasan RUU ITE Antara Pemerintah dan DPR RI” dengan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri No.: 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tangal 23 Januari 2007 dengan Pengarah: Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sekretaris Negara, dan Sekretaris Jenderal Depkominfo, dan melibatkan Departemen Hukum dan HAM, Departemen Perdagangan, Kejaksaan Agung, Polri, Bank Indonesia, Bank BUMN, Operator Telekomunikasi dan Akademisi serta Praktisi TIK.

Pansus RUU ITE DPR RI mulai bekerja dari tanggal 17 Mei 2006 hingga 13 Juli 2006 dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) sebanyak 13 kali dengan berbagai pihak, antara lain operator telekomunikasi, perbankan, aparat penegak hukum dan kalangan akademisi.

Setelah menyelesaikan Rapat Dengar Pendapat Umum, pada bulan Desember 2006 Pansus DPR RI menetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebanyak 287 DIM RUU ITE yang berasal dari 10 Fraksi yang tergabung dalam Pansus RUU ITE DPR RI.

Pembahasan DIM RUU ITE pada Tahap Pansus dimulai pada tanggal 24 Januari 2007 sampai dengan 20 Juni 2007 dengan 18 kali rapat pembahasan. Selanjutnya pembahasan pada tahap Panja berlangsung dari 29 Juni 2007 sampai dengan 31 Januari 2008 dengan 23 kali rapat pembahasan. Kemudian diteruskan dengan pembahasan pada tahap Tim Perumus (Timmus) dan Tim Sinkronisasi sejak tanggal 13 Februari 2008 sampai dengan 13 Maret 2008 sebanyak 5 kali rapat pembahasan.

Selesai pembahasan pada tingkat Pansus, Panja, Timus, dan Timsin, pada tanggal 17 Maret 2008 telah dilangsungkan Rapat Pleno Panja yang dihadiri oleh seluruh Anggota Panja RUU ITE DPR RI dan Tim Antar Dep selaku Wakil Pemerintah dengan agenda Laporan Hasil Timus dan Timsin kepada Pleno Panja.

Pada tanggal 19 Maret 2008 telah dilangsungkan Rapat Pleno Pansus RUU ITE DPR RI dengan Pemerintah untuk mendengarkan Tanggapan dari 10 Fraksi yang tergabung dalam Pansus RUU ITE atas Laporan Rapat Pleno Panja 17 Maret 2008. Pada Rapat Pleno Pansus juga telah ditandatangani Persetujuan Tingkat I atas RUU ITE antara DPR dengan Pemerintah sebelum disahkan menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa, 25 Maret 2008.

Kehadiran UU ITE ini sudah sangat dinantikan publik. Dalam beberapa kali sosialisasi RUU ITE di beberapa kota besar di Indonesia, mencuat permintaan publik agar RUU ITE segera disahkan. Beberapa alasan yang dikemukakan publik bahwa UU ITE akan memberikan manfaat, sebagai berikut: menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi, melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Adapun terobosan-terobosan penting yang dimiliki RUU ITE adalah : Tanda Tangan Elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvesional (tinta basah dan materai), alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP, Undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia; penyelesaian sengketa juga dapat diselesaiakan dengan metode penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase.

Dengan disahkannya UU ITE, Indonesia sudah sejajar dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi ke dalam instrumen hukum positif (existing law) nasionalnya.

Penyusunan RUU ITE ini, didasarkan pada fakta bahwa teknologi informasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.

Untuk mengatasi hal ini tidak lagi dapat dilakukan pendekatan melalui sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.

Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa terjadi demikian cepat, bahkan sangat dahsyat. Teknologi infomasi dan komunikasi telah menjadi instrumen efektif dalam perdagangan global dan sekaligus perbuatan melawan hukum dan kejahatan. Ironinya dalam keadaan transaksi dan kegiatan virtual telah meningkat demikian tinggi dan cepat, justru kita belum memiliki regulasi yang mengatur tentang Cyber Law.

RUU ITE yang segera disahkan ini adalah wujud dari tanggung jawab yang harus diemban oleh negara dalam memberikan perlindungan yang maksimal kepada seluruh aktivitas yang dilakukan di dalam negara ini. Kepastian hukum yang kuat akan membuat seluruh aktivitas informasi dan transaksi elektronik di dalam negeri akan terlindungi dengan baik dari potensi kejahatan dan penyalahgunaan teknologi sehingga Keberadaan UU ITE ini menjadi sangat strategis karena sendi-sendi aktivitas berbangsa dan bernegara juga telah disentuh oleh transaksi dan penggunaan teknologi informasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar